Jumat, 15 Agustus 2008

Nasib Sekolah Pinggiran



Ah, melihat judulnya sudah nampak pesimistis. Jangan salah... Mungkin benar orang kampungpun tak akan melirik sekolah ini kalau tidak terpaksa. Mereka yang memiliki anak pintar lebih senang menyekolahkannya disekolah yang dianggap favorit walaupun tahu bahwa biaya yang dikeluarkan tentu lebih besar. Mereka yang punya uang banyak, rela mengeluarkan uang, pun untuk mewujudkan ambisinya masuk sekolah favorit berimbuhan plus. Mungkin juga benar, sebagian orang yang sekolah di sekolah pinggiran adalah mereka yang memang tidak mampu lagi bersaing (tertampung) di sekolah negeri di kota, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menerima nasib. Entah sampai kapan sekolah pinggiran benar-benar terpinggirkan.


Cerita sejenispun nampaknya muncul tidak hanya di Banyumas. Di Jepangpun sama. 10 tahun yang lalu, insan pendidikan Kagoshima melayangkan protes terhadap sekolah lab milik Kagoshima University sebab sekolah ini adalah biang kerok yang menyebabkan semua anak pintar masuk sekolah ini, dan sekolah lain hanya mendapatkan sisanya. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut sangat tidak adil dan harus diubah. Semenjak itu, ada sistem unik yang diterapkan dalam menjaring siswa. Langkah pertama dilakukan dengan tes sehingga terjaring 200 siswa terbaik. Setelah itu keduaratus orang itu wajib mengambil undian keberuntungan (lucky draw) yang isinya ada 2, diterima apa tidak. Sangat mungkin siswa yang dalam tes peringkat 1 tidak diterima disekolah ini karena lucky drawnya itu jelek, sehingga memberikan peluang sekolah lain untuk mendapatkannya.


Pertanyaan selanjutnya, mungkinkan sistem semacam itu bisa diterapkan di Banyumas khususnya? Pertanyaan yang pelik untuk dijawab bila dihadapkan dengan keadaan masyarakat yang suka mengkritik dan menuntut. Terlalu banyak ide yang bersebelahan dan sulit untuk dipertemukan, namun bukan berarti tidak mungkin.


Disisi lain, ada sesuatu yang layak disoroti yaitu sudut pandang masyarakat yang terlalu menganggap sekolah pinggiran sebagai sekolah alternatif saja. Untuk itulah, sekolah pinggiran seperti SMP 2 Karanglewas memang seharusnya menunjukkan eksistensinya dengan berbagai potensi yang memang dimiliki entah dari sisi siswa, sisi guru, maupun dari sisi manajemen sekolah. Hal yang memang sudah dimiliki seperti tenaga pendidik yang rata-rata berusia muda dan memiliki semangat untuk maju sudah sepatutnya didorong karena itulah satu aset membentuk opini publik bahwa sekolah inipun bukan sekedar sekolah alternatif terakhir. Perlu dukungan semua warga sekolah untuk mewujudkannya. Dengan kekompakan tentu semua dapat dilakukan. Semoga.

Tidak ada komentar: